Pada 1998 , Bank Indonesia (BI)
menafsir semboyan pendidikan nasional meski agak wagu. BI mengeluarkan uang
edisi pendidikan bernominal dua puluh ribu rupiah. Di salah satu lembar terpacak
gambar Ki Hajar Dewantara sesahaja biasanya. Pada lembar sebaliknya, tergambar
“kegiatan belajar” dari tafsir Tut Wuri
Handayani.
Irfan Sholeh Fauzi
Syahdan, Sudan..
Jawapos, 21 Maret 2018 |
Sudan, badak jantan putih terakhir di muka bumi itu mati dan tak sempat mengerti. Tak ada juga yang tahu apa yang ia pikirkan selama nyaris satu bulan lunglai berkejaran dengan udara di kandangnya, hingga manusia-manusia itu mengeutanasianya. Kita tak pernah mengerti sebagaimana Sudan; ia menyerah atau tidak. Yang kita tahu dan mungkin juga ia, adalah Senin (19/3), kita dan Sudan tak akan pernah bertemu jawab.
Menulis Ibu Dalam Sekedip
https://www.pinterest.com/explore/colorful-elephant/ |
“Gimis!”
kata keponakanku yang belum genap dua tahun. Untukku yang menggendongnya dan
yang tidak hanya genap, bahkan lebih dari dua puluh tahun, kata itu tentu bakal
menjijikan jika kuucapkan. Apalagi dengan cara yang ia lakukan: cadel dan
riang. Mana ada gimis bikin orang
dewasa riang?
Toilet dan Ki Hajar Dewantara
“Sekalian ambil presensi ya!”
seorang dosen meminta tolong pada mahasiswanya, yang izin ke toilet. Kelasnya
di lantai 2. Dia lantas turun menuju ruang tata usaha, tempat presensi
terletak. Sebenarnya ini menunjukan manajemen perjalanannya yang kurang baik.
Seharusnya dia menuntaskan hajatnya yang sudah tak tertahan terlebih dahulu.
Tapi rupanya, yang mungkin karena
pengorbanannya, dia beruntung. Tak jauh dari ruang tata usaha, terdapat kamar
mandi bertitah: WC DOSEN. Tapi, sekali lagi, dia beruntung. Tak ada dosen terpantau
di sekitar kamar mandi. Tanpa pikir panjang, dia menuntaskan hajatnya di sana.
Perkenalan:Dari Buku Hingga Kutukan Nama
Selalu gagal nampang keren di tempat umum. Atau hemat
beberapa lembar di toko buku. Tapi selalu sukses kalau baca bukunya di gerbong
kereta, entah mengapa. Deru dan hantaman ‘roda’ ke rel yang kadang-kadang itu
sepertinya mampu menjerumuskanku ke tiap huruf. Tiap kalimat. Paragraf. Lembar.
Hal semacam itu aku pikir laiknya dakwah. Dengan tampang
wajah yang aku buat seakan berbicara, “hei! Sekali-kali lepaskan gawaimu!! Baca
buku!!!”
Dangal dan Kebiasan Pilihan Ganda Kita
Kehidupan ada ketika menonton Dangal (2016). Film yang terinspirasi dari kisah nyata ini
menceritakan Mahavir Singh (Aamir Khan), seorang ayah yang berambisi memiliki
anak lelaki untuk dijadikannya pegulat yang mampu memberikan medali emas bagi
India, sebagai pembalasan dendam ambisinya. Namun kekukuhan hati Mahavir harus
luruh karena Tuhan pun kukuh atas kehendak-Nya. Empat kali kelahiran, empat
kali pula dia harus mengalami kekecewaan karena keempat anaknya perempuan.
Biarpun demikian dia tetap mencintai keempatnya, “namun, hanya anak lelaki yang
mampu mewujudkan mimpiku,” tandas Mahavir.
Bisa Begitu?
Aku sedang mengobrol dengan seorang teman lelaki di sudut
sekolah (menengah atas) ketika teman perempuan kami lewat. Kami bertiga
berteman sejak SLTP. Biarpun satu SMA, kami jarang sekali bertemu, hingga
pertemuan yang kebetulan itu kami sempatkan mengobrol berapa jenak. Hanya
ngorbrol biasa sampai teman laki-lakiku bilang, “Kamu dari dulu sampai SMA
telatan terus,” tudingnya ke teman perempuan kami.
Langganan:
Postingan (Atom)
Jasa Orang-Orang Bandel
Pada 1998 , Bank Indonesia (BI) menafsir semboyan pendidikan nasional meski agak wagu. BI mengeluarkan uang edisi pendidikan bernominal...
-
Aku sedang mengobrol dengan seorang teman lelaki di sudut sekolah (menengah atas) ketika teman perempuan kami lewat. Kami bertiga berteman ...
-
https://www.pinterest.com/explore/colorful-elephant/ “Gimis!” kata keponakanku yang belum genap dua tahun. Untukku yang menggendongnya...
-
Selalu gagal nampang keren di tempat umum. Atau hemat beberapa lembar di toko buku. Tapi selalu sukses kalau baca bukunya di gerbong kereta...