Kehidupan ada ketika menonton Dangal (2016). Film yang terinspirasi dari kisah nyata ini
menceritakan Mahavir Singh (Aamir Khan), seorang ayah yang berambisi memiliki
anak lelaki untuk dijadikannya pegulat yang mampu memberikan medali emas bagi
India, sebagai pembalasan dendam ambisinya. Namun kekukuhan hati Mahavir harus
luruh karena Tuhan pun kukuh atas kehendak-Nya. Empat kali kelahiran, empat
kali pula dia harus mengalami kekecewaan karena keempat anaknya perempuan.
Biarpun demikian dia tetap mencintai keempatnya, “namun, hanya anak lelaki yang
mampu mewujudkan mimpiku,” tandas Mahavir.
Sampai suatu ketika tetangga mereka mengadu pada Mahavir
karena kedua anaknya dipukuli hingga babak belur oleh Geeta dan Babita, anak
Mahavir. Dari kejadian inilah kisah dimulai.
Mahavir yang memiliki prinsip “punya tubuh bagus belum tentu
bisa jadi pegulat. Gulat mengalir dalam darah, kau harus lahir dengan itu” ini
percaya bahwa darah itu mengalir pada kedua anaknya, Geeta dan Babita.
Pada hari-hari setelah “pemukulan” itu kehidupan Geeta dan
Babita berubah. Mereka harus memulai hari sedari jam lima, ketika embun pun
belum bergegas menyelimuti bumi India. Pada hari pertama mereka diminta Mahavir
menyantap jajanan kesukaan mereka sepuasnya. “Silakan makan sepuasnya,” kata
Mahavir, “karena setelah hari ini kalian tidak akan menyantap makanan itu lagi.
Anggap saja ini untuk terakhir kalinya.”
Namun bukan tanpa soal Mahavir memenuhi ambisinya. Bahkan
pada saat dia mengungkapkan keinginan menjadikan Geeta dan Babita pegulat untuk pertama kalinya, dia langsung mendapat
tentangan dari istrinya. Tapi Mahavir meyakinkan jika dalam setahun tidak ada
perkembangan, dia akan mengubur mimpinya untuk selamanya.
Selain dari istri, tentangan juga datang dari tetangga.
Wanita dalam masyarakat Dangal hanya ‘diizinkan’
medampingi lelaki saja. Dan ini berlawanan dengan apa yang dikehendaki Mahavir,
dan tidak cukup itu, karir yang ditempuh Geeta dan Babita adalah bergulat! Yang
dianggap sebagai olah raga lelaki.
Tentangan tidak hanya menimpa Mahavir saja. Geeta dan Babita
pun merasakannya. Di sekolah mereka menjadi bahan perundungan. Bahkan seorang
temannya mengejek, “semenjak berlatih gulat, cara berjalanmu berubah seperti
lelaki. Aku kuatir, apalagi yang akan berubah?” dan ini semakin mengendurkan
semangat mereka—yang sedari awal pun tidak bersemangat.
Barangkali Mahavir mendengar kisah musafir dan keledai tua.
Dia tidak menghiraukan rundungan dari tetangganya, juga penolakan anaknya.
Mereka sempat mengeluh, namun Mahavir menganggap apa-apa yang dikeluhkan bukan masalah, sampai Geeta berceletuk bahwa
rambutnya gatal, bahkan dia membunuh delapan kutu dari rambut Babita. Hal
tersebut adalah masalah sebenarnya menurut Mahavir, dan esoknya, rambut mereka
berdua dipangkas laiknya lelaki.
Bukan menambah semangat karena ‘terlanjur basah’ Geeta dan
Babita justru melakukan pemberontakan. Mereka mengubah setelan alarm Mahavir agar
dia tidak bangun pukul lima untuk melatih, mematikan bohlam lampu di arena latihan,
sampai pura-pura kalah cepat dalam latihan gulat—mereka berlatih gulat bersama
Omkar, sepupu mereka. Tapi ‘pemberontakan’ mereka tidak berlangsung lama. Geeta
dan Babita membolos berlatih untuk dapat datang ke resepsi pernikahan kawannya
dan ketahuan oleh Mahavir. Omkar yang sedang menari bersama Geeta tertangkap
basah diberi bogem oleh Mahavir yang langsung menghentikan pesta. Selepas itu,
Geeta dan Babea curhat kepada kawan mereka yang menikah. Mereka bilang bahwa
ayahnya kejam, “ayah macam apa yang memaksa putrinya jadi pegulat?” kata Geeta,
“mungkin Tuhan tak akan memberi ayah seperti itu kepada anak lain.”
“Aku berharap Tuhan memberiku ayah seperti anak yang lain,”
katanya. “nya” disitu bukan merujuk pada Babita yang menegaskan pernyataan
Geeta, namun pernyataan kawan mereka yang menikah itu. Dia bilang bahwa itu
adalah bukti ayah mereka memikirkan masa depan mereka. Jika tidak mereka hanya
berkutat pada dapur, sumur, kasur.
Bahkan di kasur mereka kadang bertemu dengan orang yang tidak mereka kenal. Dan
ini masalahnya.
Bukan! Ini bukan menyoal emansipasi wanita. Ini soal anak
dan orang tua mereka, yang oleh Kahlil Gibran diungkapkan lewat sajak anakmu bukan milikmu. Dalam sajak
termaksud Kahlil Gibran mengungkapkan: berikan
mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu.
Geeta dan Babita adalah nyata. Mereka ada dan benar menjadi
pegulat, bahkan juara Internasional. Tidak ada kepantasan juga bagi saya
menyebut Mahavir, jika menggunakan sajak Kahlil Gibran, sebagai ayah yang tidak
tahu diri, karena jangan membuat mereka
menyerupaimu/ Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, biarpun dalam
film, saat dewasa pun Geeta dan Babita tidak bisa lepas dari Mahavir. Semoga
ini juga bukan yang dimaksud Kahlil Gibran: Patut
kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya. Semoga saja
Mahavir bukan seperti itu. Semoga dia—masih dalam sajak Kahlil Gibra—kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah
yang meluncur..
Ini bukan resensi, jadi saya tidak merasa perlu membahas
film ini lebih lanjut. Walaupun harus diakui bahwa film ini bagus. Sempat beberapa
kali saya merasa layar komputer jinjng saya berembun, namun ternyata bukan.
Film ini sungguh menyenangkan.
Tapi kehidupan ada ketika menonton Dangal (2016). Film ini menyenangkan tapi juga menjengkelkan. Di
akhir film ditampilkan keterangan bahwa berkat “usahanya (Mahavir) dia telah
menjadi inspirator 1000 wanita di India untuk menjadi pegulat.” Saya tetap
harus memberi hormat pada Mahavir karena dia telah melakukan sesuatu untuk
negaranya. Dan tetap berusaha berpikir positif bahwa 1000 wanita itu tidak
hanya ikut-ikutan apalagi karena dipaksa.
Saya merasakan hal serupa di lingkungan saya—tidak usah saya
wedarkan. Ada senior yang memiliki prestasi yang tinggi di suatu bidang dan
teman-teman yang lain berbondong-bondong mengikutinya. Saya awalnya pun
terbesit niatan itu, namun saya rasa ada yang belum sempat saya pikirkan.
Sekali lagi, saya pun berharap teman-temanku yang mengikuti jejak senior pun
benar karena minat, bukan karena ikut-ikutan.
Pilihan ganda menemani ujian kita sedari SD. Hanya ada satu
jawaban benar dari opsi-opsi yang tersedia. Kita tidak diberi kemungkinan lain.
Jadi hal yang kadang diambil ketika tidak megetahui jawabannya adalah menengok
jawaban teman yang dirasa lebih pintar. Dari sini kita belajar tidak percaya
diri—kecuali jika Anda manusia yang diberi mukjizat mampu menduga ‘kode-kode’
jawaban atau memiliki kancing baju sakti. Dari pilihan ganda kita memiliki
pemahaman bahwa hanya ada satu jawaban yang benar. Mungkin sekali saya salah.
Tapi saya mencoba berpikir dari ‘masalah senior saya’. Bahwa hidup bukan
pilihan ganda yang hanya memiliki satu jawaban benar. Bahwa tidak mengikutinya
bukan berarti salah. Salah-benar pasti ada. Tapi kesalah-benaran bukan terletak
pada wadaknya, tapi semangatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar