Menulis Ibu Dalam Sekedip

Hasil gambar untuk colourful pinterest
https://www.pinterest.com/explore/colorful-elephant/
“Gimis!” kata keponakanku yang belum genap dua tahun. Untukku yang menggendongnya dan yang tidak hanya genap, bahkan lebih dari dua puluh tahun, kata itu tentu bakal menjijikan jika kuucapkan. Apalagi dengan cara yang ia lakukan: cadel dan riang. Mana ada gimis bikin orang dewasa riang?

Paling mereka membebat diri di kamar dengan selimut sembari memacak sesuatu di media sosial: langit menangis, hatiku gerimis. Yang nyatanya mereka sedang kelaparan dan mengutuk gimis yang tak kunjung reda.

Tapi gimis tetap gimis. Dan gerimis tetap gerimis.

Itu sekira jam tiga sore, ketika ia menunjuk air yang jatuh dari langit, dari beranda. Dan pukul empat lebih tiga puluh menit, aku sudah harus berada di dalam lambung kereta.

Aku selalu kelewat percaya diri jika bisa menata barang bawaan dalam sekedip. Atau: ‘sekedip’—menggunakan petik. Karena yang dimaksud ‘sekedip’ adalah bukan satu kedipan mata. Ia bisa berarti kita menginvestasikan kedip detik ini untuk detik nanti, atau dengan kata lain misalkan dalam satu menit kita biasa berkedip 10 kali, maka dalam menit pertama kita berkedip 20 kali agar menit kedua kita tak usah berkedip dan seterusnya, dan seterusnya.

Singkatnya: ‘sekedip’ itu bukan sekedipan mata.

Barangkali akan lebih mudah jika diplesetkan menjadi bahasa jawa: sekedap—sebentar. Dan itu tentu relatif.

Sekarang sudah jam empat kurang 15 menit dan aku masih belum menutup tas dengan rapat dan belum mengenakan celana dan belum mencetak e-tiket. Meski yang disebut belakangan tak masalah jika tak dilakukan, tapi untuk jaga-jaga tentu tak ada salahnya.

Dan jaga-jaga itulah yang bermasalah.

Mungkin printer di rumah tak bisa bekerjasama dalam ‘sekedip’. Ia mesti digunakan di-bukan-sekedip yang bisa bermaksud: ayolah, bung, kau harus bisa santai.

Kita lewati saja bagian printer yang tak kooperatif dan menemukan ibuku mengingatkan apakah obatnya sudah kumasukan tas.

Selama dua tahun kuliah, ini rekor pulang tercepatku. Belum ada satu minggu, tepatnya 4 hari di Solo dan aku sudah pulang. Minggu pertama kuliah baru dimulai dan aku langsung pulang. Alasannya jelas: pra-semester aku ke Solo harus hanya dua hari. Tapi ternyata dua minggu.

Nasib selama dua minggu itu tak kooperatif, sama tak asyiknya seperti printer—jadi tak usah diceritakan. Aku pulang untuk menebus dua minggu yang tak kooperatif itu. Dan minggu setelahnya, ternyata aku mesti pulang lagi. Obat terbaik dari sakit adalah rumah. Ini klise, memang. Tapi, kau tahu, kadangkala laku klise itu perlu ketimbang tidak sama sekali.

Aku teringat bahwa obatku masih tertinggal di lemari.  Ini juga klise, tapi memang betul, tiap ibu sepertinya selalu bisa mengingat segala hal dengan detail yang tak dikuasai anaknya atau suaminya. Dan aku langsung tersadar bahwa waktu ideal untuk sebuah pengemasan barang adalah setidaknya dua kedip, jika tanpa ibu atau aku kehilangan obat.

Diantar bapak, perjalanan rumah ke stasiun memakan waktu lebih dari dua kedip. Tak aneh misalkan kita investasi kedipan selama perjalanan, esok siang kita bisa melotot tanpa henti. Atau agar tak terlalu mendramatisir, yang lebih dari dua kedip itu sekira 15 menit. Dan seperti kedip, ada juga yang masih tak berhenti: gimis!
*
Saat ini di komputer jinjingku, jam menunjuk pukul lima kurang delapan menit dan kereta berhenti di tengah sawah. Sejauh mata memandang, di gerbong belakang ini hanya aku seorang dan lirih angin ac dan aku memandangnya sambil duduk. Mungkin ada orang lain di baris terdepan atau belakang. Tapi yang jelas, dari baris tengah, aku tak kuasa menyuruh diriku mendongak lebih keras lagi.

Yang kukuasai adalah mengingat apa yang terjadi sekitar empat puluh menit yang lalu ketika aku duduk di ruang tunggu stasiun dan menemukan diriku tak menemukan tuperwere di dalam tas.

Aku diingatkan dan harus rendah diri bahwa bisaku menyiapkan barang adalah setidaknya dalam tiga kedip. Kau tahu, tiga kedip itu bisa berarti berapa saja. Dan kau juga tahu, berapa saja bisa berarti apa yang diucapkan printer yang tak kooperatif tadi: ayolah, bung, kau harus bisa santai.

Ada orang berbisik bahwa ketergesaan membunuh kemanusiaan. Itu bisa betul, bisa tidak. Ketergesaan seperti yang kulakukan tentu tak membunuh kemanusiaan, tapi aku malah menemukan kemanusiaan dari kejadian itu—yang dhaif, meski bukan berarti boleh berkompromi atas itu.

Aku mencarai gawai dan mengirimkan pesan pendek pada ibu bahwa tuperwere ku ketinggalan. Aku tak berharap banyak dan hanya ingin mengabari ibu bahwa ada barang anak lelakinya yang tertinggal di rumah dan bukan karena aku maniak tuperwere garis keras meski tanpanya, tentu aku bakal kerepotan. Radang tenggorokan memaksaku rajin minum.

Kereta berangkat jam 4 lewat 35 menit.

Pesan terkirim pukul 4 lebih 11 menit.

Dan gerimis masih turun bermenit-menit.

Aku menimang-nimang apa bakal memecahkan rekor baru lagi. Seumur hidupku,  aku tak ingat apakah pernah beli air mineral kemasan dalam botol. Itu pekerjaan yang sia-sia, untuk tak mengatakan kelewat boros.

Di kontrakan, aku menggunakan air galon isi ulang dan hanya lima ribu dan botol sialan yang hanya seukuran satu kilan itu harus ditebus dengan harga dua ribu dan mungkin lebih dan karena aku tak pernah mau beli: aku tak tahu dan tak peduli.

Dua menit setelah pesan terkirim ku putuskan untuk memecahkan rekor baru lagi.
Lima puluh meter ke timur dari tempat duduku berarti rekor baru. Lima puluh meter ke timur dari tempat duduku berarti pekerjaan yang sia-sia. Lima puluh meter ke timur dari tempat duduku berarti kelewat boros.

Sebelum lima puluh meter ke timur dari tempat duduku aku menemukan ibuku di pintu masuk stasiun dan menyengir melihatku dan melambaikan tuperwere ke arahku dan aku tak tahu apa yang terjadi kecuali menduga-duga bahwa ibu memang lebih mampu melakukan apapun ketimbang aku dalam sebuah kedipan.

Aku tak mau klise, tapi kau mestinya tahu, bahwa setiap aku tak bakal mampu menuliskannya dalam berapapun kedip.


Suatu Sore di gerbong terakhir Wijayakusuma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jasa Orang-Orang Bandel

Pada 1998 , Bank Indonesia (BI) menafsir semboyan pendidikan nasional meski agak wagu. BI mengeluarkan uang edisi pendidikan bernominal...