Pada 1998 , Bank Indonesia (BI)
menafsir semboyan pendidikan nasional meski agak wagu. BI mengeluarkan uang
edisi pendidikan bernominal dua puluh ribu rupiah. Di salah satu lembar terpacak
gambar Ki Hajar Dewantara sesahaja biasanya. Pada lembar sebaliknya, tergambar
“kegiatan belajar” dari tafsir Tut Wuri
Handayani.
“Kegiatan belajar” bergambar
ruang kelas dengan raut wajah siswa-siswi kelewat serius. Tak ada percakapan di
sana. Dan di antara banjar baris meja yang begitu teratur, seorang guru mengamati
pekerjaan mereka dari belakang. Tut Wuri
Handayani, di belakang muridnya, guru itu merasa memberi dorongan. Kendati sebenarnya
lebih mirip tafsir Orde Baru pada Tut
Wuri Handayani yang dialihkan sebagai dasar politik nasional mereka: “ada
mata yang menghukum, yang mengawasi anak-anak warga dari belakang.” (Shiraishi,
2009).
Ki Hajar Dewantara selalu (dan
apesnya juga hanya!) Tut Wuri Handayani.
Padahal ia punya sederet kata yang jelas-jelas ampuh membasmi keadaan tak asyik
laiknya ruang kelas dua puluh ribu itu, misalnya: Ngandel-Kendel-Bandel-Kandel!
Darsiti Soeratman (1985) dalam Ki Hajar Dewantara secara berturut
mengartikan kata-kata itu sebagai percaya pada Kekuasaan Tuhan dan diri, berani
(kuat jiwanya), kuat menderita, dan kuat raganya. Bagi Ki Hajar Dewantara, jika
kita yakin benar, mestilah kita berani dan kuat menderita, dan dengan
sendirinya, raga kita turut menguat.
Ki Hajar Dewantara bukanlah
tukang kibul. Ia telah mempraktikan kata-kata itu dalam peristiwa-peristiwa
hidupnya. Misalnya kala pemerintahan kolonial berencana memperingati 100 tahun
kemerdekaan Belanda di Hindia-Belanda, ia menyiarkan esai cergas nan tajam, Seandainya Saya Seorang Belanda.
Pemerintahan kolonial geram.
Mereka mendatangi Komite Bumiputera yang berencana memboikot perayaan
kemerdekaan itu. Bukannya gentar, Ki Hajar Dewantara (yang kala itu masih
bernama Suwardi Surjaningrat), bersama Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker
merespons tindakan represif pemerintah dengan tulisan-tulisan yang dimuat
harian De Expres. Akibatnya, mereka
disepak dari pulau Jawa.
Namun apa lacur, Suwardi dan
kawan-kawannya ini sungguh bandel!
Bayangkan saja, di pembuangan, Suwardi masih sanggup mengirim surat kepada Dekker:
Tanah air meminta korban dan di sinilah
kita, siap sedia memberi korban sesuci-sucinya [...] seluruh penjara menjunjung tinggi dan mencintai kita sebagai pembela
bangsa. Sakit keras yang menghantam Suwardi tak merobohkan perjuangannya. Pada
surat lain Suwardi dengan garang menulis: Kita
tak akan mundur setapak pun. Dan seorang ksatria hanya berbicara satu kali.
Tak lama di pembuangan, mereka
bertiga diasingkan ke negeri Belanda. Dalam perjalanan menuju tempat
pengasingan, alih-alih pasrah, Suwardi kembali menulis surat tajam untuk
memperingatkan teman-teman seperjuangannya di tanah air: janganlah kamu sekalian suka diludahi mukamu.
Pascapengasingan, Suwardi masih
saja doyan bandel. Pada 5 Juni dan 24
Agustus 1920 ia kembali ditahan berkat buah pikirnya. Ketika pihak kolonial
tahu bahwa Suwardi berasal dari keluarga bangsawan dan hendak diperlakukan
istimewa, Suwardi malah menolak!
Setelah bebas, Suwardi tak merasa
perlu menunggu lama untuk bikin gara-gara lagi. Suwardi, yang pada era kini kerap
digambarkan sebagai sosok tua yang penuh sahaja itu, terkena delik pers (lagi).
Pada Novemeber itu, ia dituduh menghina Ratu Wilhemina, menghina badan
pengadilan, menghina Pangreh Praja, dan menghasut untuk merobohkan
pemerintahan. Berkat pikirannya yang kerap bikin gerah pemerintahan kolonial,
ia “mendapat kehormatan” menjadi wartawan Hindia-Belanda pertama yang kena
delik pers. Dan tak lama pasca-mentas dari kurungan, lagi-lagi Suwardi dikurung
berkat pidatonya. Bandel betul!
Setelah memilih fokus pada jalur
pendidikan pun Ki Hajar Dewantara masih konsisten dengan ke-bandel-annya yang begitu sangat. Ia,
misalnya, menolak tunduk pada Undang-Undang (UU) Sekolah Liar. Telegramnya yang
ditujukan pada Gubernur Jenderal Buittenzorg sebagai respons atas UU Sekolah
Liar bahkan benada mengancam (sungguh kendel!):
saya memperingatkan, bahwa walaupun
makhluk tak berdaya mempunyai rasa asali (insting) untuk menangkis bahaya guna
menjaga diri dan demikianlah juga boleh jadi kami karena terpaksa akan
mengadakan perlawanan sekuat-kuatnya dan selama-lamanya...
Jika Ki Hajar Dewantara manut
pada segala yang diinginkan pemerintahan kolonial, kita mungkin tak bakal
mengenal Ki Hajar Dewantara dengan konsep taman siswanya yang menawan itu. Kata
“bandel” agaknya juga dapat diartikan sebagai “perlawanan”
pula, selain ”kuat menderita”. Bandel
acap kali diantonimkan dengan manut—orang
yang menurut saja apa kata bos. Dan sejarah pendidikan modern Indonesia memang
banyak berhutang pada orang-orang bandel macam Suwardi ini.
Beberapa tahun sebelum Ki Hajar
Dewantara, misalnya, kita mengenal Dewi Sartika. Kita tak tahu apa yang Uwi
(sapaan bocah Dewi Sartika) pikirkan tatkala ayahnya dituduh terlibat dalam
peristiwa pemasangan dinamit pada pertengahan Juli 1893 di lapangan pacuan kuda
Tegallega. Yang kita tahu, keluarganya jadi berantakan.
Ibunda Uwi tak kuasa
mempertahankan keluarga. Masa itu, menurut Rochiati Wiriatmadja dalam Dewi Sartika (1986), istri bangsawan
hanya berguna untuk “menyemarakan kehidupan aristokrat di lingkungan yang
terbatas, dan bukan untuk menyingsingkan lengan baju.” Dalam kalimat lain,
perempuan sekadar hiasan yang ditentukan oleh “adat, kepercayaan, kaidah-kaidah
sosial”. Dan di tengah kehidupan kolot inilah, Uwi mem-bandel.
Setelah ayahnya dibuang ke
Ternate, Uwi dititpkan pada Raden Demang Suria Kartahadiningrat, atau yang
akrab disebut Raden Aria Cicalengka. Ia adalah tokoh amtenar yang dihormati.
Banyak putri dari pejabat daerah sekitar dititipkan padanya untuk dididik sopan
santun, kecapakan kewanitaan, dan pergaulan.
Proses pendidikan dalam keluarga
Raden Aria Cicalengka dikungkung kehidupan feodal yang kaku nan sempit. Ia
meneruskan saja apa yang dilakukan nenek moyang. Di tengah kehidupan macam
itulah, para remaja putri tak punya percakapan apapun kecuali ihwal perkawinan.
Mereka pikir, perkawinan merupakan pembebebasan. Padahal, perkawinan “merupakan
bentuk lain dari dunia keterbatasan wanita zaman itu”.
Dalam penitipan di rumah Patih
Aria Cicalengka, Uwi menjadi aib sebab nasib ayahnya. Uwi sial tiga kali.
Keluarganya hancur, tak dipedulikan di rumah Patih Aria Cicalengka, dan
percakapan ihwal perkawinan yang membikinnya sumpek. Hiburan dari kehidupan
yang membosankan itu datang dari surat-surat yang dialamatkan pada para gadis
dari calon suami mereka. Tak ada yang cakap membaca kecuali Uwi. Dan saat
itulah, ia mengerjai mereka. Mengubah surat penuh bunga menjadi ratapan patah
hati gadis dan jengkel calon suami.
Keusilan itu jadi dalih Uwi agar
para gadis belajar membaca dan menulis. Menurutnya “yang paling perlu untuk
diperbaiki, yaitu kecakapan membaca dan menulis.” Namun rumah Patih Aria
Cicalengka bukanlah tempat yang tepat untuk mewujudkan cita-cita. Maka, pada
1902, dengan kendel Uwi meninggalkan
Cicalengka menuju Bandung.
Di Bandung, setelah melihat
kondisi keluarganya yang makin kacau, terutama ibunya, Uwi berkata pada dirinya
“Ari jadi awewe kudu segala bisa, ambeh
bisa hirup!” (Menjadi perempuan harus mempunyai banyak kecakapan agar mampu
hidup!). Dipicu kondisi itu, berangkatlah gadis dari keluarga yang dikucilkan
para bangsawan ini menuju tempat Bupati Bandung, R.A.A Martanegara (1893-1918).
Meski termasuk pejabat yang
progresif untuk zamannya, Bupati Martanegara mulanya enggan mengabulkan
permintaan Uwi. “Jangan, perempuan tidak usah sekolah! Asal bisa menanak nasi,
bisa menjahit, bisa mengabdi pada suami, sudah lebih dari cukup, pahalanya
surga,” tolak bupati. Walau pun berjasa pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat Bandung karena progresifitasnya, Bupati Martanegara rupanya masih
tabu membayangkan perempuan-perempuan mencecap pendidikan.
Namun Uwi adalah perempuan bandel (tentu juga ngandel dan kendel dan kandel). Berkali ditolak, berkali pula
ia memohon, hingga akhirnya bupati luluh. “Ya Uwi, apabila Uwi sudah bulat
keinginan, mudah-mudahan dimakbulkan oleh Allah yang menguasai seluruh alam,
kita coba mendirikan sekolah sebagaimana yang dikehendaki oleh Uwi.”
Maka, perempuan bandel itu menorehkan sejarah. Pada 16
Januari 1904, bertempat di Paseban Kabupaten Bandung, gadis dua puluh tahun itu menjadi perempuan pertama
yang mendirikan sekolah khusus perempuan di Hindia-Belanda! Murid-murid pertama
Sekolah Istri berasal dari kalangan keluarga biasa (bukan kalangan bangsawan,
sebagaimana lazimnya!). Para bangsawan malah menyambutnya dengan dingin, kalau
tidak menentang.
Meski Mr. J.H. Abendanon yang
kala itu menjabat sebagai direktur pendidikan agama dan kerajinan dalam Pameran
wanita mengatakan bahwa “hal itu (Sekolah Istri) telah merupakan suatu langkah
kemajuan yang penting,” namun pihak pemerintah, entah karena alasan birokratis
atau politis, seakan menghambat perkembangan ini.
Kendati tanpa bantuan
pemerintahan kolonial, gadis bandel
ini berhasil “menyingsingkan lengan baju”. Ia bersama pengurus Kautamaan Istri mampu
memantik semangat pendidikan bagi kaum wanita. Pada 1913 Sekolah Kautamaan
Istri II berdiri di Bandung. Hingga 1926, mereka telah membuka sedikitnya 13
sekolah baru.
Merayakan
hari pendidikan berarti merayakan ingatan pada jasa orang-orang bandel. Pendidik era kini mestinya tak
mengekor pada tafsir Tut Wuri Handayani ala
orde baru, melainkan Bupati Martanegara yang mendorong pembebasan manusia
(peserta didik) dari belenggu-belenggu kolot. Laiknya upaya Ki Hajar Dewantara
dan Dewi Sartika, untuk sebuah pembebasan, ada harga yang perlu dibayar—dan kita tak akan mundur setapak pun, seorang
ksatria hanya berbicara satu kali.
Detik.com, 2 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar