Perkenalan:Dari Buku Hingga Kutukan Nama

Selalu gagal nampang keren di tempat umum. Atau hemat beberapa lembar di toko buku. Tapi selalu sukses kalau baca bukunya di gerbong kereta, entah mengapa. Deru dan hantaman ‘roda’ ke rel yang kadang-kadang itu sepertinya mampu menjerumuskanku ke tiap huruf. Tiap kalimat. Paragraf. Lembar.

Hal semacam itu aku pikir laiknya dakwah. Dengan tampang wajah yang aku buat seakan berbicara, “hei! Sekali-kali lepaskan gawaimu!! Baca buku!!!”


Barangkali mereka sedang membaca e-book juga atau bacaan lainnya. Aku tidak tahu. Tapi seberapa romantisnya e-book (gawai) dibanding buku? Guru SMP-ku dulu bilang, kalau salah satu hal yang menyenangkan dari buku adalah renyahnya suara halaman yang di balik, “srek”, begitu katanya. Tentu, kalau boleh menambahkan, dengan harum kertas yang selalu kepengin aku mencari parfum yang sepadan. Tapi bukan kertas buku fotokopian yang warnanya abu-abu itu. Yang dulu aku mengira “buku edisi murah”, derma dari penulisnya. Sebagai orang yang tinggal di kabupaten kecil di jawa tengah dan tak sedikit sekali toko buku—itu pun buku pelajaran—aku tak tahu menahu ihwal itu. Namun, sebagai orang yang ingin menumbuhkan benih-benih cinta pada sastra, aku sedikit patah hati. Sedikit, karena yang kubeli juga sedikit: 3 buah, asali utamanya: karena aku anak kos. Dan salah satunya buku kisah cinta yang menye-menye. Sebagai pembelaan, aku beli karena penasaran, banyak yang membicarakan. Untungnya aku lekas mendapat bisikan halus. Di setengah perjalanan, buku itu ku telantarkan, bosan. Tapi ya tetap aku habiskan, dengan dalih: daripada menghamburkan uang.
Barangkali orang tuaku ahli nujum. Nama awalku Irfan Sholeh Darmawan, tapi buru-buru diganti jadi Irfan Sholeh Fauzi. Pasti gara-gara mereka tahu kejadian itu akan aku alami dan memperburuk citra “Darmawan”. Kemungkinan kedua, karena Fauzi yang artinya “bermanfaat” memiliki makna yang lebih universal. Aku memilih kemungkinan kedua. Biar aku membawa hidup setidaknya dengan modal percaya diri yang cukup.


Tapi tetap saja aku bermasalah dengan nama. Terutama, maksudku, satu-satunya, pada kata kedua: Sholeh. Dengan ini aku dicap anak Sholeh. Tidak boleh nakal, memaki, dan hal-hal menyenangkan lainnya. Ini menyulitkan. Tapi karena orang tuaku memberiku nama “Irfan” juga yang artinya—menurutku—berilmu, aku jadi bisa ngeles. Nama adalah doa, kataku suatu kali pada kawanku yang mengecapku sholeh—dengan nada meledek pula!—, dan doa digunakan untuk memangkas jarak. Kalau kita membesuk orang sakit, yang kita doakan adalah kesembuhan. Aku diberi nama Sholeh, karena orang tuaku tahu potensi ketidak Sholeh-an pada diriku. Beda denganmu yang tak ada kata Sholeh dalam nama, kataku, pasti orang tuamu tahu kalau Sholeh keniscayaan padamu. Semenjak itu, aku tahu landasanku berbuat nakal.



#7DaysKF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jasa Orang-Orang Bandel

Pada 1998 , Bank Indonesia (BI) menafsir semboyan pendidikan nasional meski agak wagu. BI mengeluarkan uang edisi pendidikan bernominal...