Toilet dan Ki Hajar Dewantara

“Sekalian ambil presensi ya!” seorang dosen meminta tolong pada mahasiswanya, yang izin ke toilet. Kelasnya di lantai 2. Dia lantas turun menuju ruang tata usaha, tempat presensi terletak. Sebenarnya ini menunjukan manajemen perjalanannya yang kurang baik. Seharusnya dia menuntaskan hajatnya yang sudah tak tertahan terlebih dahulu.
Tapi rupanya, yang mungkin karena pengorbanannya, dia beruntung. Tak jauh dari ruang tata usaha, terdapat kamar mandi bertitah: WC DOSEN. Tapi, sekali lagi, dia beruntung. Tak ada dosen terpantau di sekitar kamar mandi. Tanpa pikir panjang, dia menuntaskan hajatnya di sana.

Sembari menuntaskan hajat, dia terkagum-kagum. Betapa bersih kamar mandi dosen. Bak-nya, klosetnya, bahkan, wastafelnya bersabun! Sekonyong-konyong dia membandingkan nasibnya sebagai mahasiswa. Yang kloset kamar mandinya kadang berkerak, baknya kotor, yang tak jarang jadi tempat beranak pinak nyamuk. Aduh, jangankan sabun, pipa saluran air pembuangan wastafelnya pun rusak. Yang ketika dipakai, jelas, air pembuangannya bakal menciprati sepatu-celananya.
Entah mengapa, dia tetiba terpikir cerpen Corat-Coret di Toilet milik Eka Kurniawan.
Dalam cerpen itu, Eka seolah menunjukan bahwa kamar mandi merupakan pemantik kejujuran. Tokoh-tokoh yang Eka hadirkan jujur melakukan apapun di kamar mandi. Mulai dari menghasut revolusi, mencibir revolusi, menggoda, hingga meninggalkan tahi!
Sendiri acapkali mendorong kita melakukan sesuatu yang tak mungkin dilakukan jika ada orang lain, dan kamar mandi mengakomodasi itu. Membikin kita jujur pada diri sendiri. Dan dalam kejujuran, seperti halnya cerpen Eka, terhimpun banyak hal konyol di sana.
Bagai sinyal dan kenangan, pikiran bisa datang dan pergi seenak udelnya. Pikiran tokoh kita ini pun. Setelah memikirkan cerpen Eka, tetiba dia teringat ungkapan seorang gurunya.
Mudah saja melihat kebersihan suatu sekolah, kata sang guru, tengok saja kamar mandinya. Kamar mandi, menurut gurunya, adalah bagian paling jujur dari suatu sekolah. Di lobi sekolah, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang kelas, dll, boleh saja bersih, tapi jika kamar mandinya busuk, tak ada yang bersisa dari sekolah itu, kecuali kebusukan itu sendiri.
Bukan hanya menyoal kebersihan saja, dalam hal ini. Bagaimana sekolah itu ‘berjalan’ bisa ditengok dari kamar mandinya. Memang bukan berarti kita lantas bisa menggeneralisasikan. Tapi di kamar mandi, di bagian “yang remeh dan terabaikan” itu, kita menemukan banyak kejujuran.
Ki Hajar Dewantara dan ‘Pikiran Remehnya’
Artikel berjudul “Kembali ke Medan Perjuangan” dipakai Ki Hajar Dewantara (yang kala itu masih menggunakan nama Suwardi Surjaningrat) sebagai salam perpisahan bagi Belanda, tanah pengasingannya. Dan “kembali ke medan perjuangan” dimulai satu hari setelah ia tiba di tanah air, 6 September 1919: melapor ke Pengurus Besar National Indische Partij (NIP) di Bandung. Untuk kembali berlaga di bidang politik.
Ki Hajar memang kombatan tangguh dalam perlawanan melawan penjajah. Bukan sekadar akrab dengan tanah pengasingan dan penjara. Ki Hajar bahkan menjadi orang Indonesia pertama yang kena delik pers karena ketajaman buah pikirnya. Namun, dia tak pernah surut.
Tapi, karena gonjang-ganjing di tubuh NIP, sejak 1921, Ki Hajar memilih medan laga baru untuk melanjutkan perjuangannya. Menuju ranah yang kelak kita tak bisa melepaskan Ki Hajar darinya: pendidikan.
Namun bagi Ki Hajar, 2 hal ini, politik dan pendidikan, bukan 2 hal yang berseberangan. Menurutnya, politikus merupakan pagar dan guru merupakan tani yang bekerja di sawah, yang di jaga ‘si pagar’. Mengurusi benih, menanam, matun, merabuk, mencari cara agar tanaman tumbuh dengan baik, merupakan tugas si tani.
Akrab diingatan kita petani di sebuah iklan kecap di televisi yang bahkan menyebut kedelai adalah bagian dari keluarga, bahkan hingga diberi nama! Bagi Ki Hajar, memang seperti itu seharusnya laku guru pada muridnya.
Pada zaman penjajahan, murid menyebut guru dengan sebutan “tuan” atau “nyonya”. Sikap ke-tuan-nyonya-an ini berakibat pada perilaku di kelas. Guru sekadar pegawai yang dibayar untuk menjejalkan pengetahuan, lain tidak.
Maka, Ki Hajar dengan taman siswanya mendobrak dengan sesuatu yang ‘remeh’. Mengganti panggilan “tuan” dan “nyonya” menjadi “bapak” dan “ibu”. Melalui ini, guru diharapkan membimbing murid dengan penuh kecintaan dan mendahulukan kepentingan murid agar dapat berkembang dengan baik (Soeratman, 1985).
Sebutan “bapak” dan “ibu” bagi pendidik masih akrab kita jumpai di pendidikan kita sekarang, di tingkat manapun. Namun sikap ke-bapak-ibu-an, belum tentu. Karena tak jarang bapak-ibu kita dalam dunia pendidikan laiknya tuan-nyoya di zaman pendidikan kolonial. Mereka sekadar mencekoki pengetahuan pada yang diajar tak ubahnya sapi gelonggongan.
Sapi harus tunduk dan pasrah. Tak boleh memuntahkan airnya, apalagi hingga memprotes. Dan kita tahu, sapi gelonggongan ini hanya bikin untung pedagang.
Ada benar dalam paradigma kamar mandi yang disampaikan guru tokoh kita itu. Bahwa keberjalanan suatu lembaga pendidikan, sedikit banyak, bisa ditilik dari kamar mandinya. Maka, ada sesuatu yang salah dari kamar mandi yang mewah bagi pengajar, seperti halnya tuan, dan kamar mandi seadanya bagi yang diajar, seperti halnya babu. Padahal, seperti asas pendidikan Taman Siswa, seharusnya guru mendidik muridnya agar menjadi manusia yang merdeka—bukan menjadikannya seperti babu maupun sapi gelonggongan.
Tentu boleh saja “kamar mandi di lembaga pendidikan” ini diartikan begitu saja. Yang tak boleh adalah melupakan nilai yang lebih penting. Lalu apa nilai dari kamar mandi yang egaliter di lembaga pendidikan? Kalau boleh saya merumuskan, pada konteks ini, adalah ‘kenyamanan dan kesehatan dalam mengeluarkan hajat’.

Seperti tidak nyaman-tidak sehatnya jadi sapi gelonggongan, buang hajat di tempat yang kotor seperti yang sering dilakukan tokoh kita di kamar mandi mahasiswanya pun. Bagaimana saya tahu? Karena tokoh kita itu adalah saya, he-he. 


(Pracetak) Solopos, 26 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jasa Orang-Orang Bandel

Pada 1998 , Bank Indonesia (BI) menafsir semboyan pendidikan nasional meski agak wagu. BI mengeluarkan uang edisi pendidikan bernominal...