Selalu gagal nampang keren di tempat umum. Atau hemat
beberapa lembar di toko buku. Tapi selalu sukses kalau baca bukunya di gerbong
kereta, entah mengapa. Deru dan hantaman ‘roda’ ke rel yang kadang-kadang itu
sepertinya mampu menjerumuskanku ke tiap huruf. Tiap kalimat. Paragraf. Lembar.
Hal semacam itu aku pikir laiknya dakwah. Dengan tampang
wajah yang aku buat seakan berbicara, “hei! Sekali-kali lepaskan gawaimu!! Baca
buku!!!”